STUDY _Siklus Hak dan Kewajiban Wajib Pajak sesuai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


Kali ini, kuakan bahas sedikit mengenai mata kuliah di PKN STAN, yaitu perpajakan. nah, tahu sendirikan perpajakan itu apa? Mungkin bagi yang belum tahu, sekilasnya itu pajak ialah pungutan wajib yang dibayar warga negara kepada negara untuk kepentingan masyarakat. Dengan banyaknya kebutuhan yang akan dicapai, tidak memungkiri bahwa pajak juga diperlukan. Jenisnya pun juga banyak lho. Ku akan bahas mengenai siklus hak dan kewajiban WP (Wajib Pajak).
Kuy, dibaca dan dipahami ^^




A. Pendaftaran dan pelaporan usaha

Menurut undang-undang KUP pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Syarat menjadi Wajib pajak(WP) akan dipenuhi bila terpenuhi syarat objektif dan subjektif yang biasanya disebut taatbestand.wajib pajak yang sudah terdaftar akan mendapatkan kartu NPWP dan kartu SKT yang diterbitkan oleh KPP atau KP2KP. Kartu NPWP berisikan identitas pemilik sedangkan kartu SKT berisi penyataan bahwa pemilik terdaftar dalam KPP tertentu yang berisikan NPWP dan kewajiban perpajakan wajib pajak.Pendaftaran NPWP dan pengukuhan PKP diatur dalam Pasal 2 undang-undang KUP.
a.       Kewajiban mendaftar
Secara yuridis taatbestand diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang KUP yang mengatur bahwa bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan

perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP.
Adapun apa itu persyaratan sbyektif dan obyektif disebutkan dalam penjelasan
Pasal 2 ayat (1) Undang Undang KUP, sebagai berikut
·         Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
·         Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yangmenerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya

.           b.   Fungsi NPWP
Adapun beberapa fungsi yang diperoleh :
·         Sebagai identitas dari si wajib pajak
·         Sebagai alat dalam administrasi perpajakan
·         Dilampirkan atau dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan berkaitan dengan si wajib pajak
·         Mewujudkan administrasi perpajakan yang tertib dan rapi



Penjelasan  Pasal  2  ayat  (1) Undang-Undang  KUP  menyebutkan  bahwa kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan  harta.Wanita  kawin  selain  tersebut  di  atas  dapat  mendaftarkan  diri  untuk memperoleh  NPWP atas  namanya  sendiri  agar  wanita  kawin  tersebut  dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Jadi yang harus mendaftarkan diri adalah Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif termasuk wanita kawin meliputi:
a)      Wajib Pajak orang pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara karena:
·         hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;
·         menghendaki  secara  tertulis  berdasarkan  perjanjian  pemisahan penghasilan dan harta; atau
·         memilih  melaksanakan  hak  dan  memenuhi  kewajiban  perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak;
b)      Wajib Pajak atau Orang Pribadi yang tidak sedang melakukan pekerjaan ataupun menjalankan usaha, wajib dalam mendaftarkan dirinya untuk mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) paling lama dalam kurun waktu pada akhir bulan berikutnya dimana setelah penghasilan yang didapatkan oleh wajib pajak tersebut pada suatu bulan yang sudah disetahunkan dan telah melebihi penghasilan Tidak Kena Pajak.
c)      Wajib Pajak atau Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas atau pun yang menjalankan usaha, wajib dalam mendaftarkan dirinya untuk mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) paling lambat dalam kurun waktu 1 (satu) bulan setelah pada saat pekerjaan bebas atau usaha tersebut sudah mulai dilakukan.
d)     Wajib Pajak Badan, wajib dalam mendaftarkan dirinya untuk mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) paling lambat dalam kurun waktu 1 (satu) bulan setelah saat dilakukannya pendirian.
e)      Bendahara yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan dan pemungutan pajak, wajib dalam mendaftarkan dirinya untuk mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan paling lambat sebelum dilakukannya pemotongan dan pemungutan pajak tersebut.





Cara pendaftaran NPWP dan pengukuhan PKP dapat dilakukan secara manual maupun e-Registration Pendaftaran NPWP dan Pelaporan PKP secara manual (termasuk jika tidak bisa Registration) adalah sebagai berikut.
1.      Wajib Pajak yang mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan melalui permohonan tertulis dengan mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran Wajib Pajak dan harus melengkapi formulir pendaftaran tersebut dengan dokumen yang disyaratkan ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempatkedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak secara langsung, melalui pos, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir. KPP atau KP2KP memberikan Bukti Penerimaan  Surat  apabila  permohonan dinyatakan  telah  diterima  secara lengkap.Berdasarkan  permohonan  tersebut,  KPP atau  KP2KP menerbitkan NPWP paling lambat 1 hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan pengukuhan PKP paling lambat 5 hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.Pengukuhan PKP diberikan setelah dilakukan verifikasi.Kartu NPWP dan SKT disampaikan kepada Wajib Pajak melalui pos tercatat.
2.      Berdasarkan  permohonan  tersebut,  KPP atau  KP2KP menerbitkan  NPWP paling lambat 1 hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan pengukuhan PKP paling lambat 5 hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
3.      Pengukuhan PKP diberikan setelah dilakukan verifikasi.
4.      Kartu NPWP dan SKT disampaikan kepada Wajib Pajak melalui pos tercatat
Sedangkan cara pendaftaran online adalah sebagai berikut ;
1)      Wajib Pajak yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri karena diwajibkan atau Wajib Pajak memilih untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, wajib mengajukan permohonan pendaftaran NPWP dengan menggunakan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak. Permohonan pendaftaran dilakukan secara elektronik pada Aplikasi e-Registration yang tersedia pada laman DJP di www.pajak.go.id dan dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
2)      Wajib Pajak yang telah menyampaikan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak melalui Aplikasi e-Registration harus mengirimkan dokumen yang disyaratkan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dengan cara mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen melalui Aplikasi e-Registration atau mengirimkan dengan menggunakan Surat Pengiriman Dokumen yang telah ditandatangani. Apabila dokumen yang disyaratkan belum diterima KPP dalam jangka waktu 14 hari kerja setelah penyampaian permohonan pendaftaran secara elektronik, permohonan tersebut dianggap tidak diajukan.
3)      Apabila dokumen yang disyaratkan telah diterima secara lengkap, KPP menerbitkan Bukti Penerimaan Surat secara elektronik.KPP atau KP2KP menerbitkan Kartu NPWP dan SKT paling lambat 1 hari kerja setelah Bukti Penerimaan Surat diterbitkan.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, yakni KUP pasal 1 ayat (2) wajib mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP Dalam penjelasannya disebutkan bahwa selain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan. Maksud kantor DJP adalah KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak KPP tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau tempat lain yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak.
Menurut peraturan Direktur Jenderal Pajak pasal 9 ayat 1 PER-20/PJ/2013, penghapusan NPWP boleh dilakukan terhadap wajib pajak yang sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai perundang-undangan perpajakan.Penghapusan NPWP atas permohonan wajib pajak atau secara jabatan bisa dilakukan berdasarkan hasil verifikasi dan pemeriksaan wajib pajak yang diperbolehkan melakukan penghapusan NPWP :
·         Wajib pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan
·         Wajib pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
·         Wajib pajak bendahara pemerintah yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai wajib pajak, sudah tidak lagi melakukan pembayaran
·         Wajib pajak yang memiliki lebih dari 1 NPWP, untuk menentukan NPWP yang digunakan sebagai sarana administratif pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya
·         Wajib pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik dan pegawai yang diberikan NPWP, melalui pemberi kerja/bendahara pemerintah dan penghasilan nettonya tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
·         Wajib pajak badan kantor perwakilan perusahaan asing yang tidak mempunyai kewajiban pajak penghasilan badan dan telah menghentikan kegiatan usahanya
·         Wanita yang memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya
·         Wanita menikah yang memiliki NPWP berbeda dengan NPWP suami dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami.
·         Anak belum dewasa yang telah memiliki NPWP.
·         Wajib pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia dan wajib pajak badan selain perseroan terbatas dengan status tidak aktif yang tidak mempunyai kewajiban pajak penghasilan dan tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Ketentuan tersebut dikecualikan bagi pengusaha kecil batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan Yang memilih menjadi PKP.Fungsi pengukuhan PKP dipergunakan sebagai identitas PKP untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan PPnBM serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai PKP, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan perpajakan.

B. Pembukuan dan Pencatatan

Untuk keperluan penghitungan pajak atas aset yang dimilikinya, Wajib Pajak sudah seharusnya melakukan pencatatan dan pembukuan setiap transaksi yang telah dilakukannya.Dari sudut pandang bisnis pencatatan dan pembukuan ini sering disebut dengan istilah akuntansi,sedangkan pada sudut pandang KUP, dipakai istilah Pembukuan dan Pencatatan. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.Pencatatan sendiri adalah terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Bentuk dan ketentuan Pencatatan sendiri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
            Dalam rangka pemenuhan unsur keadilan dan kewajaran penetapan pajak, maka pembukuan menjadi sangat vital perannya bagi Wajib Pajak.Namun tidak semua Wajib Pajak wajib untuk melakukan pembukuan.Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan antara lain :
a.       Wajib Pajak badan;
b.      Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Pembukuan yang dilakukan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,kewajiban,modal,penghasilan,dan biaya,serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.Pembukuan yang dilakukan dengan prisip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas.
Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
            Beberapa ketentuan mengenai pembukuan antara lain sebagai berikut :
a.       Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b.      Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin,angka arab,satuan mata uang Rupiah,dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
c.       Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas
Yang dimaksud prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah pergeseran laba atau rugi, Sedangkan yang dimaksud Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estate.Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya, perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Pajak
Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut
d.      Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
e.       Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
f.       Buku,catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia,yaitu ditempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi,atau di tempat Wajib Pajak badan.
Kurun waktu 10 tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menajdi dasar pembukuan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas kadaluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
            Beberapa ketentuan mengenai pencatatan antara lain sebagai berikut :
a.       Pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya
b.      Pencatatan harus diselenggarakan secara kronologis
c.       Pencatatan harus dapat menggambarkan antara lain :
1.      Peredaran atau permintaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh
2.      Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final
d.      Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jensi usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan
e.       Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan selama 10 tahun.
Sanksi Terkait dengan Pembukuan dan Pencatatan
Apabila  kewajiban  pembukuan tidak dipenuhi  sehingga  tidak dapat diketahui  besarnya pajak  yang terutang, maka diterbitkan SKPKB ditambah dengan  sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar :
1.        50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan  yang  tidak atau kurang dibayar  dalam satu Tahun Pajak
  1. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan  yang  tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor , dan dipotong  atau dipungut  tetapi tidak atau kurang disetor
  2. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang  tidak atau kurang dibayar
Setiap orang yang karena kealpaannya  menyampaikan SPT , tetapi isinya  tidak benar atau tidak  lengkap, atau melampirkan keterangan  yang isinya  tidak  benar sehingga  dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan  negara dan perbuatan  tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A,Didenda  paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar  dan paling banyak  2 (dua) kali jumlah pajak terutang  yang  tidak atau kurang dibayar ,  atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
      Wajib Pajak yang dengan sengaja melakukan penyelewengan dalam pembukuan ataupun pencatatan objek pajaknya meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut
1         Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu  atau dipalsukan  seolah-olah  benar, atau tidak menggambarkan keadaan  yang sebenarnya
2         Tidak menyelenggarakan  pembukuan atau pencatatan  di Indonesia, tidak memperlihatkan  atau tidak meminjamkan  buku, catatan, atau dokumen  lain
3         Tidak menyimpan  buku, catatan, atau dokumen  yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen  lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan  yang dikelola secara elektronik  atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 28 ayat (11)d. Sehingga dapat menimbulkan  kerugian pada pendapatan  negara
 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda  paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

C. Pembayaran Pajak

            Membayar pajak adalah salah satu tahapan dalam siklus hak dan kewajiban Wajib Pajak (WP). Dalam sistem self assessment, yaitu WP wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang. Mekanisme pembayaran pajak dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu:
(1) Membayar sendiri pajak yang terutang;
(2) Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain;
(3) Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah; dan
(4) Pembayaran pajak-pajak lainnya.
Berikut di samping merupakan mekanisme pembayaran pajak dengan sistem self assessment.
Gambar 1 mekanisme perubahan pajak


    1. membayar sendiri pajak yang terutang
(1) Pembayaran angsuran Pajak Penghasilan (PPh) setiap bulan (PPh Pasal 25); dan
 (2) Pembayaran kekurangan PPh selama setahun (PPh Pasal 29). Yang dimaksud dengan pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25) adalah pembayaran PPh secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban WP dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. WP diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
            Khusus, bagi WP Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu :
(1) Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT); dan
(2) Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPPT). Yang dimaksud dengan WP OPPT adalah WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal. Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP OPPT adalah: 0,75% x jumlah peredaran usaha (omzet ) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha.
            Sedangkan angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) , yaitu orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan, maka angsuran PPh Pasal 25-nya adalah: Penghasilan Kena Pajak (PKP) SPT tahun pajak sebelumnya x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)dibagi 12 bulan. Sedangkan bagi WP Badan, besarnya pembayaran angsuran PPh Pasal 25 yang terutang diperoleh dari PKP dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%. Khusus untuk WP Badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas PKP dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
            Selanjutnya untuk pembayaran kekurangan PPh selama setahun (PPh Pasal 29) dilakukan sendiri oleh WP pada akhir tahun pajak apabila pajak terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari jumlah total pajak yang dibayar sendiri (angsuran PPh Pasal 25) dan pajak-pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sebagai kredit pajak.
            Biasanya, sebelum wajib pajak melaporkan pajaknya ke kantor pajak terlebih dulu menyetor pajak yang sudah dihitung ke bank maupun kantor pos. Sarana penyetoran pajak adalah Surat Setoran Pajak (SSP). SSP terdiri dari 4 lembar, lembar 1 untuk wajib pajak, lembar 2 untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), lembar 3 untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan lembar 4 untuk bank/kantor pos. Di dalam SSP ada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan nama penyetor, kode akun pajak dan kode jenis setoran yang diisi sesuai jenis pajak yang dibayar, uraian pembayaran, kode ketetapan apabila ternyata pajak yang disetor masih ada yang kurang dibayar, tanda tangan penyetor dan Kantor Penerima Pembayaran, serta validasi Kantor Penerima Pembayaran.

            Setelah SSP diisi dan disetorkan ke bank/kantor pos nantinya kepada wajib pajak diberikan kembali lembar 1 SSP untuk arsip wajib pajak (disimpan jangan sampai hilang) dan lembar 3 SSP untuk dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak. Dari bank/kantor pos, pajak yang dibayar langsung masuk ke kas negara.
Gambar 2 SSP
            Pembayaran pajak di atas berlaku bagi jenis pajak yang sudah menggunakan self assessment system yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Meterai. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih menggunakan office assessment system,
2.      Mekanisme pembayaran pajak yang kedua adalah membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah :
(1) Pemberi penghasilan;
(2) Pemberi kerja; atau
(3) Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
3.      Kemudian mekanisme pembayaran pajak yang ketiga adalah membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah. Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.
4.      Dan yang terakhir, adalah mekanisme pembayaran pajak-pajak lainnya. Meliputi :
(1) Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT); dan
(2) Pembayaran Bea Meterai. Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di bank-bank tertentu.
Keempat jenis mekanisme pembayaran pajak pusat di atas, merupakan kewajiban WP dalam membayar pajak. Lalu bagaimana jika WP lebih membayar pajak? Maka WP dapat menikmati Hak WP atas Kelebihan Membayar Pajak. Yaitu WP mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut Jika pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Untuk WP masuk kriteria WP Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima.

    1. Pengertian pelaporan pajak.

                         Tahapan ketiga dalam Siklus Hak dan Kewajiban Wajib Pajak adalah Pelaporan Pajak. Pelaporan pajak telah diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yaitu dengan Wajib Pajak (WP) menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai suatu sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak yang terutang. Selain untuk melaporkan jumlah pajak yang terutang, SPT juga digunakan untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak baik yang dilakukan oleh WP sendiri ataupun melaluni mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihakpemotong/pemungut, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran oleh pemotong atau pemungut berdasarkan hasil dari pemotongan/pemungutan yang sudah dilakukan.

    2. Surat pemberitahuan dan fungsi.

        SPT adalah surat yang digunakan oleh WP untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (UU KUP Pasal 1 angka 11)
        UU KUP membagi jenis SPT menjadi 2, yaitu SPT Masa untuk suatu masa pajak, dan SPT Tahunan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Fungsi SPT bagi WP Pajak Penghasilan adalah sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya, melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain dalam suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak, melaporkan penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak, melaporkan harta dan kewajiban, dan melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan/pemungutan yang sudah dilaksanakan.
Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang terutang, pembayaran atau pelunasan pajak dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

    3. Kewajiban mengisi SPT.

                         Setiap WP wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor DJP tempat WP terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh DJP.
                        Maksud dari mengisi SPT adalah mengisi formulir baik dalam bentuk kertas ataupun dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
                        Unsur-unsur dalam mengisi SPT berupa benar, lengkap, dan jelas, memiliki arti yaitu:
ü  Benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
ü  Lengkap berarti memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
ü  Jelas berarti melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.
                        SPT yang sudah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor DJP ditempat WP terdaftar atau tempat lain yang sudah ditentukan oleh DJP. (UU KUP Pasal 3 ayat (1))
                         WP yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang asing, wajib menyampaikan SPT dengan bahasa Indonesia dan dengan menggunakan mata uang selain Rupiah yang diizinkan. (UU KUP Pasal 3 ayat (1b))

   4. Penandatanganan SPT.

                         Penandatanganan SPT dapat dilakukan biasa, dengan stempel, atau tanda tangan elektrik/digital, yang semuanya memiliki kekuata hukum yang sama.
                 SPT WP badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. Sedangkan WP selain badan harus menyertakan tanda tangan dari WP atau Kuasa WP. Jika WP menunjuk seorang Kuasa, maka dalam pelaporan harus menyertakan surat kuasa sebagai lampiran. Apabila SPT disampaikan tetapi tidak ditandatangani maka berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU KUP SPT tersebut dianggap tidak disampaikan.

    5. WP yang dikecualikan menyampaikan SPT.

                         WP yang dikecualikan menyampaikan SPT adalah WP yang memiliki penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi karena alasan tertentu diwajibkan untuk memiliki NPWP.

    6. Bentuk SPT.

            Bentuk dan isi SPT serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan SPT diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini berdasarkan fungsi SPT sendiri yang merupakan sarana bagi WP dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, oleh karena itu diperlukan sebuah keseragaman dalam bentuk, isi, keterangan, dan cara penyampaian agar mempermudah dalam pengisian dan pengadministrasiannya.
            SPT Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan bayar pajak, serta harta dan kewajiban diluar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi WP orang pribadi.
            SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
            SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.

    7. Pengambilan SPT.

        SPT dapat diambil dengan beberapa cara, diantaranya mengambil sendiri di tempat yang sudah ditetapkan oleh Dirjen Pajak, mengunduh formulir di situs DJP, dan juga pengiriman SPT oleh Dirjen Pajak kepada Wajib Pajak.
        SPT yang berbentuk kertas dapat diambil secara langsung ditempat yang sudah ditetapkan oleh DJP, diantaranya: KPP, KP2KP, Kanwil DJP, Kantor Pusat DJP, Pojok Pajak, dan Mobil Pajak. Sedangkan untuk e-SPT, Wajib Pajak dapat mengambil aplikasinya secara langsung di KPP atau KP2KP atau diunduh dari website DJP. Wajib Pajak diperbolehkan untuk menggandakan SPT dengan syarat tidak merubah bentuk, isi, dan ukuran SPT.

     8. Tempat penyampaian SPT.

                         SPT dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling lama dua bulan.

    9. SPT dianggap tidak disampaikan.

            SPT dianggap tidak disampaikan apabila:
-       SPT tidak ditandatangani
-       SPT tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan
-       SPT yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah tiga tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, dan wajib pajak telah ditegur secara tertulis; atau
-       SPT disampaikan setelah Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan atau penerbitan surat ketetapan pajak.

    10. Pembetulan SPT.

UU KUP memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPT yang sudah disampaikan. Karena DJP berwenang melakukan pemeriksaan maka pembetulan dibatasi sebelum DJP melakukan pemeriksaan. Jka DJP sudah melakukan pemeriksaan WP masih diberi kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT. WP dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, denan syarat Dirjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Terhadap kekeliruan yang dilakukan oleh WP, WP masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri.

    11. Jangka waktu pembetulan SPT.

UU KUP mengatur bahwa WP dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Menurut PP No. 74 Tahun 2011, pengertian pemeriksaan oleh Dirjen Pajak diperluas menjadi: Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, pemeriksaan, atau pemeriksaan bukti permulaan.
Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT dilakukan denga cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan SPT.

    12. Sanksi karena pembetulan SPT.

Sanksi administrasi yang dikenakan kepada WP yang membetulkan SPT adalah sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang bayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.

    13. Pengungkapan Ketidakbenaran SPT.

     UU KUP mengatur bahwa seorang WP dapat mengungkap sendiri ketidakbenaran SPT nya walaupun sudah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan penyidikan. Dalam pengungkapan ini, WP dapat mengungkap sendiri dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi sebesar 150% dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Namun apabila sudah dilakukan tindakan penyidikan, maka WP tidak dapat mengajukan untuk mengungkap ketidakbenaran SPT dengan kemauan sendiri.
     Jenis ketidakbenaran perbuatan yaitu:
(a)  Tidak menyampaikan SPT
(b) Menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

            1. Pengertian pemeriksaan pajak.

            Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang KUP, pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

            2. Tujuan pemeriksaan pajak.

            Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Maka dapat disimpulkan bahwa ada dua tujuan pemeriksaan pajak yaitu :
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
·      Ruang Lingkup dan Kriteria Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dibagi menjadi dua yaitu yang harus dilakukan dan yang dapat dilakukan.
Ø  Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP. Pemeriksaan dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor terhadap Wajib Pajak, dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan :
ü  Laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun yang diperiksa diaudit oleh akuntan public atas laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan public, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, dan
ü  Wajib pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut :

ü  Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP
ü  Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
ü  Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi
ü  Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
ü  Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
ü  Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko atau
ü  Wajib Pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko.
·           Jenis Pemeriksaan dan Jangka Waktu Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
            Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor. Pemeriksaan dengan kriteria i sampai dengan v penentuan jenis pemeriksaannya ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Pemeriksaan dengan kriteria vi dan vii dilaksanakan dengan jenis pemeriksaan Lapangan.
Ø  Pemeriksaan Kantor terkait dengan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) disampaikan kepada Wajib Pajak. dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan, kecuali untuk Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret yang dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor tidak dapat diperpanjang
Ø  Pemeriksaan Lapangan terkait dengan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak. Selanjutnya dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
·           Pemeriksaan Ulang
       Pemeriksaan Ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Instruksi dapat diberikan apabila terdapat data baru termasuk data semula yang belum terungkap. Apabila hasil Pemeriksaan Ulang mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan.
       Apabila hasil Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan sebelumnya, Pemeriksaan Ulang dapat dihentikan dengan membuat LHP Sumir dan kepada Wajib Pajak diberitahukan mengenai penghentian tersebut. Apabila hasil Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak sebelumnya tetapi terdapat perubahan jumlah rugi fiscal, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai rugi fiskal.
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
·         Ruang Lingkup, Kriteria, dan Jenis Pemeriksaan untuk Tujuan Lain
          Ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan. Kririteria Pemeriksaan untuk tujuan lain diantaranya :
ü pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi
ü penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi
ü Wajib Pajak mengajukan keberatan
ü pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto
ü pencocokan data dan/atau alat keterangan
ü penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil
ü  penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan nilai
ü Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak
ü penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian
ü sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan dan/atau
ü memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian  Penghindaran Pajak Berganda.
     Pemeriksaan untuk tujuan lain dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor.
·          Kewajiban Pemeriksa Pajak
ü menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan
ü memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
ü memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan Tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
ü menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa;
ü menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
ü mengembalikan buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya yangdipinjam dari Wajib Pajak; dan/atau
ü merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
·          Kewenangan Pemeriksa Pajak dalam Pemeriksaan Lapangan
ü melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
ü mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
ü memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan;
ü meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
ü meminta keterangan dan/atau data yang diperIukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
·         Kewenangan Pemeriksa Pajak dalam Pemeriksaan Kantor
ü melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
ü meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
ü meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
·         Kewajiban Wajib Pajak
ü meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
ü meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
ü meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
ü meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Pajak; dan/atau
ü memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan
·         Kewajiban Wajib Pajak dalam Pemeriksaan Lapangan
ü memperlihatkan dan meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
ü memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
ü memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang penyimpanan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; dan/atau
ü memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang diperlukan.
·         Kewajiban Wajib Pajak dalam Pemeriksaan Kantor
ü memperlihatkan dan meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan; dan/atau
ü memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang diperlukan.
·          Jangka Waktu Pemeriksaan
ü Pemeriksaaan Lapangan paling lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.
ü Pemeriksaan Kantor paling lama 14 (empat belas) hari, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai     dengan tanggal LHPPemeriksaan dalam rangka permohonan penghapusan NPWP diselesaikan paling lama
Ø 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Ø 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak Badan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
ü  Pemeriksaan dalam rangka pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diselesaikan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
c. syarat sebagai pemeriksa pajak.
      Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
      Petugas Pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
d. kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa.
      Berdasarkan pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP, Wajib Pajak yang diperiksa wajib
·      memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek pajak
·      memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan, atau
·      memberikan keterangan lain yang diperlukan.
     Dari penjelasan diatas disebutkan bahwa Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Wajib Pajak juga wajib memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Dalam hal pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
e. peniadaan kewajiban merahasiakan data pembukuan atau pencatatan.
     Pasal 29 ayat (4) Undang- Undang KUP mengatur bahwa apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan. Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan.
f. penyegelan.
      Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa jika Wajib Pajak yang diperiksa tidak membeikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan., maka Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.
g. pemeriksaan pajak yang ditindaklanjuti pemeriksaan bukti permulaan.
      Undang-Undang KUP selain mengatur ranah hokum administrasi juga ada ketentuan hokum pidana, dalam hokum pidana perpajakan ada ketentuan untuk mencari bukti adanya tindak pidana perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan. Apabila pada saat Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

F. Ketetapan Pajak

Ketetapan pajak memiliki prinsip self-assessment, yaitu dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, wajib pajak (WP) diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada WP sendiri melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan. Artinya kepercayaan penuh  diberikan kepada Wajib Pajak dalam melakukan penetapan penghitungan besarnya pajak yang terutang. Penetapan dimaksud adalah hal-hal yang dilakukan Wajib Pajak dalam rangka self-assessment. Sementara “ketetapan” merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam menghitung kembali pajak yang sudah dibayar oleh wajib pajak apabila didapati cukup bukti, yang dapat menjadi kurang bayar, nihil atau lebih bayar.
1. Fungsi surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak.
Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai:
1)      Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
2)      Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
3)      Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
4)      Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.
5)      Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
Surat tagihan pajak berfungsi sebagai:
1)      Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT wajib pajak.
2)      Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda
3)      Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
2. Jenis-jenis ketetapan pajak.
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)  
Merupakan surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah yang masih harus dibayar. SKPKB diterbitkan hanya terhadap kasus–kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap WP tertentu yang nyata–nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material. Ketentuan SKPKB diatur dalam Pasal 13 UU KUP.
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Merupakan surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan (dalam surat ketetapan pajak yang sudah di terbitkan sebelumnya). Sesuai dengan Pasal 15 UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutang pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terhutang, setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
SKPKBT baru diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan ketetapan pajak. Penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya data baru yang menyebabkan penambahan pajak yang terhutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu setelah SKPLB  diterbitkan sebagai akibat telah lewat waku 12 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP, SKPKBT diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap, dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya SKPKBT, dan atau data baru yang diketahui kemudian oleh fiskus SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi.
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Sesuai dengan Pasal 17 UU KUP, SKPLB ini terbit dalam hal setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan, jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terhutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terhutang. SKPLB diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT LB yang diajukan restitusi, SPT LB yang tidak diajukan restitusi, SPT Nihil, maupun SPT KB.
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Merupakan surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang atau tidak ada kredit pajak. SKPN diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT Nihil, SPT Kurang Bayar, maupun SPT Lebih Bayar.
e. Surat Tagihan Pajak (STP)
Merupakan surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak lainnya sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU KUP, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
            Merupakan surat keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Banguna mengenai pajak terutang yang harus dibayar dalam satu tahun pajak. SPPT diterbitkan berdasarkan SPOP. Pelunasan paling lambat 6 bulan sejak diterimanya SPPT oleh WP. Jika terlambat dikenakan sanksi 2% per bulan, maksimal 24 bulan.
3. Pembetulan Surat Ketetapan Pajak.
a. Atas permohonan WP atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan SKP, STP, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan WP.
c. Apabila jangka waktu 6 bulan telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
d. Apabila diminta oleh WP, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.
4. Pelunasan Pajak.
a. SPT, SKPKB serta SKBKBT dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta puusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambahn merupakan dasar penagihan pajak.
b. Apabila SKPKB atau SKPKBT serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta puusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertanbah, apda saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar atas junlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau atau tanggal diterbitkannya STP dan bagian dari bulan dihitung 1 bulan.
c. Dalam hal WP dibolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 bulan.
d. Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
e. Dalam hal WP boleh menunda penyampaian SPT Tahunan dan ternyata perhitungan sementara pajak yang terutang atas kekurangan pembayran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% per bulan dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
5. Hak mendahului.
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
·         perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.
·         biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
·         biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Hak mendahului hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Perhitungan jangka waktu hak mendahului ditetapkan sebagai berikut:
·         Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa;
·         Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
6. Daluwarsa.
a. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
b. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila:
·         Diterbitkan Surat Paksa;
·         Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
·         Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
·         Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
7. Gugatan.
    Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap hal-hal berikut hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak :
ü  Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
ü  Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak
ü  Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan atau
ü  Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

G. Upaya Administrasi (Keberatan dan Pasal 36 ayat (1) 

Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak tersebut. Banyak para ahli ekonomi dan perpajakan yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan apa saja yang harus ditegakkan dalam membangun suatu sistem perpajakan. Di antara pendapat para ahli tersebut, yang paling terkenal adalah asas yang dikemukakan Adam Smith. Menurut Adam Smith di dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims". Salah satu asas yang dikemukan Adam Smith yaitu  asas equality (keadilan). Asas equality  yang dimaksud bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara.

            1. Sengketa pajak.

Definisi sengketa pajak terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang saat ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa pajak pada tingkat banding dan gugatan. Undang-undang tersebut Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Ada dua cara menyelesaiakan sengketa pajak:
1. Upaya administrasi
2. Kedua melalui jalur pengadilan ( Upaya Hukum )
Upaya administrasi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a.       Pembetulan Ketetapan Pajak ( Pasal 16 KUP )
b.      Keberatan ( Pasal 26 KUP )
c.       Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang Tidak Benar
·                     Pembetulan Ketetapan Pajak ( Pasal 16 KUP )
1. Atas permohonan WP atau karena jabatannya, DJP dapat membetulkan:
a.     surat ketetapan pajak;
b.     Surat Tagihan Pajak;
c.     Surat Keputusan Pembetulan;
d.    Surat Keputusan Keberatan;
e.     Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
f.      Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
g.     Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
h.     Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
i.       Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
j.       Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga ; atau
k.     SK berkaitan dengan PBB dan BPHTB.
yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.           
                        2. Kesalahan atau kekeliruan yang dibetulkan adalah yang bersifat  
                             manusiawi dan tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan
                             WP.
3. Pengertian ”membetulkan” ini, antara lain:
a.   Menambahkan;
b.  Mengurangkan; atau
c. menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
4. Kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, NPWP, nomor skp, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
5. Kesalahan hitung, antara lain:
a.          kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
b.          Kesalahan hitung yang diakibatkan oleh adanya penerbitan skp, STP, atau surat keputusan lain.
6. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan PTKP, kekeliruan penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
7. Terhadap PPN, pembetulan kekeliruan dalam pengkreditan pajak hanya dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan PM yang menjadi kredit pajak dan PM tersebut tidak mengandung sengketa antara fiskus dan WP.
8. Permohonan pembetulan disampaikan ke kantor DJP yang menerbitkan ketetapan, dengan ketentuan:
a.     1 permohonan untuk 1 ketetapan;
b.     Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai dengan alasan yang mendukung; dan
c.     Ditandatangani oleh WP, dan dalam hal ditandatangani bukan WP harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
9. DJP paling lama dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan WP. Apabila DJP tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan dianggap dikabulkan dan DJP harus menerbitkan SK Pembetulan sesuai permohonan WP paling lama 1 bulan setelah jangka waktu berakhir.
  10. Keputusan pembetulan dapat berupa menambah, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah pajak terutang dan/atau memperbaiki kesalahan dan kekeliruan lainnya, atau menolak permohonan WP.
11. Dalam hal permohonan pembetulan WP tidak memenuhi persyaratan, DJP harus memberitahukan secara tertulis kepada WP.Apabila diminta WP, DJP wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar menolak/mengabulkan sebagian permohonan WP.
·      Keberatan
               Keberatan yang bisa diajukan oleh wajib pajak menciptakan keseimbangan antara wajib pajak dan fiskus atau pejabat yang berwenang serta menjamin wajib pajak terhindar dari kesewenangan fiskus. Penetapan pajak yang dilakukan fiskus masih bisa ditanggapi oleh wajib pajak. Bila memberatkan, wajib pajak dapat menggunakan lembaga keberatan ini untuk protes. Dengan demikian, penetapan pajak masih bisa ditinjau kembali apabila wajib pajak bisa menunjukan bukti bahwa penetapan pajak tersebut tidak benar.
Ketentuan tentang keberatan diatur dalam beberapa Undang-undang pajak, yaitu Undang-undang KUP, Undang-undang PBB, Undang-undang BPHTB, dan Undang-undang PDRD. Pengaturan keberatan pada pajak pusat diatur dalam tiga Undang-undang yang disesuaikan dengan jenis pajak pusat yang diajukan keberatan. Sedangkan untuk jenis pajak daerah keberatan diatur dalam Undang-undang PDRD dan peraturan daerah yang memberlakukan pajak daerah di provinsi, kabupaten, atau kota.
Dalam KUP dijelaskan bahwa Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan wajib pajak. Jadi dapat dipahami bahwa keberatan adalah sengketa yang timbul antara wajib pajak dengan pejabat pajak mengenai penetapan besarnya pajak yang terutang.
            Lebih jelas lagi, Pasal 25 ayat (1) Undang-undang KUP menyatakan wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal atas suatu:
1.      Surat Ketetepan Pajak Kurang Bayar,
2.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
3.      Surat Ketetapan Pajak Nihil,
4.      Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
5.      pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
                              Yang dimaksud dengan "suatu" adalah 1(satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak/Tahun Pajak. Keberatan hanya dapat diajukan kepada DJP.Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak,    yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan/pemungutan pajak.SKPKB Pasal 13A yang diterbitkan terhadap WP yang kealpaannya melakukan tindakan pidana Pasal 38 untuk yang pertama kali, tidak dapat mengajukan keberatan.
                              WP yang mengajukan keberatan tidak dapat mengajukan:
a.   Pengurangan/penghapusan sanksi administrasi;
b.    Pengurangan/pembatalan skp tidak benar; atau
c.   Pembatalan skp dari pemeriksaan tanpa:
1)          Penyampaian SPHP; atau
2)          Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan WP.
                        Sebelum mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, wajib pajak akan mengajukan upaya hukum melalui keberatan. Periode Januari-September 2010 terdapat sebanyak 6.500 keberatan yang diajukan wajib pajak di seluruh Indonesia. Pada tahun 2008 mencapai 20.000 keberatan dan tahun 2009 mencapai 13.000 keberatan.Jumlah sengketa yang tidak sedikit ini menjadi alert bagi kita semua untuk lebih serius dalam perpajakan.
                               Syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dalam mengajukan keberatan, di antaranya ialah:
1.              Diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan.
2.              Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak kecuali wajib pajak dapat menunjukan jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Keadaan di luar kekuasaan wajib pajak meliputi bencana, alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tertera dalam surat ketetapan pajak berubah, kecuali Surat Keputusan Pembetulan yang diterbitkan sebagai hasil Persetujuan Bersam; atau keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
3.              Wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan, sebelum keberatan disampaikan.
4.              Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau pemotongan/pemungutan pajak.
5.              Mengemukakan jumlah pajak terutang, pajak dipotong/dipungut, atau rugi dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan (dilampiri dengan fotokopi skp, bukti pemungutan/pemotongan)
6.              Surat keberatan ditandatangani oleh WP, atau oleh Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus.
     WP yang menyampaikan Surat Keberatan yang belum memenuhi syarat dapat menyampaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 bulan terlewati. Apabila hal ini dilakukan maka tanggal perbaikan Surat Keberatan merupakan tanggal Surat Keberatan diterima.
            Keberatan yang tidak memenuhi syarat bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan SK Keberatan serta diberitahukan kepada WP.
            Untuk pengajuan keberatan, WP dapat meminta keterangan tertulis yang menjadi DPP/penghitungan rugi. DJP harus menjawab pengajuan tersebut paling lama 20 hari setelah surat diterima dan tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan.
Penyampaian Surat Keberatan ke KPP melalui:
a.      Penyampaian langsung (termasuk melalui KP4/KP2KP) dengan tanda penerimaan surat;
b.     Pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c.      Cara lain:

1)    Perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir dengan bukti penerimaan surat; atau
2)    e-filing melalui ASP dengan bukti penerimaan elektronik.
                        WP dapat mencabut pengajuan keberatan sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) oleh WP dan WP tersebut tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan skp yang tidak benar.
              Sebelum DJP menerbitkan SPUH, hal-hal yang dapat dilakukan dalam proses keberatan adalah:
a.       Meminta keterangan, data, atau informasi tambahan dari WP;
b.      WP menyampaikan alasan tambahan/penjelasan tertulis;
c.       DJP melakukan pemeriksaan tujuan lain.
              Sebelum menerbitkan SK Keberatan, DJP harus menyampaikan SPUH kepada WP. Apabila WP tidak hadir sesuai dengan waktu yang ditentukan, proses keberatan tetap diselesaikan tanpa kehadiran WP. Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lainnya yang tidak diberikan saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam keberatan, kecuali yang berada di pihak ketiga pada saat pemeriksaan.      DJP paling lama setelah 12 bulan sejak Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan, dengan keputusan:
a.       Mengabulkan seluruhnya atau sebagian;
b.      Menolak; atau
c.       menambah, jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Apabila jangka waktu 12 bulan terlewati, keberatan yang diajukan dianggap diterima.Terhadap WP yang mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 (1) dan (1a). Dalam hal keputusan keberatan adalah menolak, mengabulkan sebagian, atau menambah, WP dikenai sanksi denda 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Dalam hal WP mengajukan permohonan banding, sanksi denda 50% tidak dikenakan.
Gambar 3 Surat Keberatan
               Atas permohonan keberatan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-undang KUP. Namun, sebelum keputusan diterbitkan, wajib pajak masih dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak selanjutnya membuat keputusan atas keberatan yang dapat berupa: (i) mengabulkan seluruhnya atau sebagiannya, (ii) menolak, atau (iii) menambah besarnya jumlah pajak yang harus dibayar.
·         Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang Tidak Benar
               Dalam rangka memberi keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk :
1.      Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
2.      Mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
3.      Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang KUP yang tidak benar; atau
4.      Membatalkan Surat Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
a.  Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi;  dan/atau
b. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan Wajib Pajak.
   Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
5. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
6. Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
7. Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.

            2. Ruang lingkup.

Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, dan Hasil Pemeriksaan yang dapat dikurangkan atau dibatalkan oleh Direktur Jenderal Pajak baik secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak meliputi :
1.      Pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
2.      Pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang KUP yang tidak benar; atau
3.      Pembatalan Surat Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
o Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi; dan/atau
o Pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan Wajib Pajak.
Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar hanya dapat diajukan dalam hal atas Surat Ketetapan Pajak tersebut:
1.      Tidak diajukan keberatan;
  1. Diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
  2. Tidak diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
  3. Diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
  4. Tidak sedang diajukan permohonan pembatalan Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi
  5. Diajukan permohonan pembatalan Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
  6. Diajukan permohonan pembatalan Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi permohonan tersebut ditolak.
   Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.

            3. Syarat yang harus dipenuhi.

   Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak/Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
           a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak, termasuk Surat Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1.      Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2.      Pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas dianggap telah dilaksanakan apabila pemeriksa pajak telah memberikan kesempatan untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka pembahasan akhir dan Wajib Pajak tidak menggunakan hak tersebut sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.
a.       Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.      Mencantumkan jumlah pajak yang seharusnya terutang menurut perhitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang mendukung permohonannya;
c.       Disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
Dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.

Gambar 4 Format Surat Permohonan Pengurangan atau Pembatalan SKP yang tidak benar

   Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud diatas tidak dapat dipertimbangkan. Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak /Surat Tagihan Pajak yang tidak benar hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim.
   Permohonan untuk membatalkan hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau Pembahasan akhir hasil pemeriksaan hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 1 (satu) kali.

            4. Jangka waktu pengurangan atau pembatalan.

   Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima, harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. Surat keputusan berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
   Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau tidak mengembalikan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Gambar 5 Format Surat Keputusan Pembatalan SKP Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 huruf D UU KUP

            5. Hak wajib pajak terkait dengan pengurangan atau pembatalan.

          Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan terhadap surat permohonan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum diterbitkan surat keputusan terkait permohonan Wajib Pajak. Pencabutan terhadap surat permohonan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
·        Pencabutan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat mencantumkan alasan pencabutan;
·        Pencabutan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
·        Surat pencabutan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat pencabutan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat pencabutan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
          Apabila Wajib Pajak melakukan pencabutan terhadap surat permohonan, Wajib Pajak tidak berhak untuk mengajukan kembali permohonan yang sama dengan jenis permohonan yang dicabut. Wajib Pajak dapat meminta secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak. Untuk itu Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis atas permintaan Wajib Pajak.
          Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
          Dalam rangka meneliti permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar ini, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, dan/atau informasi yang diperlukan melalui penyampaian surat permintaan pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, dan/atau informasi. Wajib Pajak harus memenuhi permintaan ini paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan dikirim.

 H. Upaya Hukum (Banding, Gugatan, dan Peninjauan Kembali)

Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang no 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan tentang Sengketa Pajak. Sedangkan didalam pasal 1 Undang-Undang no 14 tahun 2002 Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan  perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.
            Pengadilan Pajak merupakan peradilan tingkat pertama maupun tingkat terakhir didalam Peradilan Pajak. Oleh karena itu, pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara kecuali adanya putusan tidak dapat diterima. Putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi dapat diajukan Penijauan Kembali ke Mahkamah Agung sesuai dengan pasal 77 Undang-Undang no 14 tahun 2002.

            1. Banding.

            Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakaan yang berlaku. Banding yang dilakukan oleh Wajib Pajak diatur didalam pasal 27 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, dapat diketahui bahwa :
1.      Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Badan peradilan pajak yang dimaksud disini adalah Pengadilan Pajak.
2.      Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
3.      Banding dapat  diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
4.      Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
5.      Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Tetapi penanguhan pajak atas Putusan Banding disini tidak dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% per bulan seperti didalam Pasal 9 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.
6.      Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak termasuk sebagai utang pajak.
7.      Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
8.      Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Sebagai contoh, didalam kasus PT. UQ mendapatkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar Rp500.000.000, tetapi PT. UQ hanya menyetujui pajaknya sebesar Rp300.000.000 dan sudah embayar pajak tersebut dan melakukan pengajuan keberatan lalu melakukan banding dan disetujui sebesar Rp400.000.000, maka PT. UQ akan dikenai sanksi administrasi sebesar 100%×(Rp400.000.000-Rp300.000.000)=Rp100.000.000.
            Didalam pengajuan banding terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain :
1.      Diajukan dalam bahasa Indonesia,
2.      Terhadap satu keputusan satu surat banding,
3.      Diajukan dengan disertai alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal tanggal terima surat keputusan yang dibanding,
4.      Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang disbanding,
5.      Banding hanya dapat diajukan apabila besarnya jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% lima puluh persen) dengan melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP) atau Pemindah Bukuan (Pbk).
Banding dapat dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima keputusan banding. Dalam waktu 3 bulan tersebut pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi ketentuan banding.

            2. Gugatan.

            Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Yaitu, pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan gugatan dapat dilaksanakan terhadap pelaksanaan :
1.      Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang,
2.      Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak,
3.      Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan,
4.      Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dan hanya dilaksanakan oleh badan peradilan pajak, yaitu Pengadilan Pajak.
Didalam pengajuan gugatan terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain :
1.      Gugatan ditulis tertulis didalam bahasa Indonesia,
2.      Jangka waktu untuk melakukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal penagihan,
3.      Jangka waktu untuk melakukan gugatan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan adalah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterima keputusan yang digugat.
4.      Poin 2 dan 3 tidak berlaku ketika force majour,
5.      Perpanjangan waktu karena force majour adalah 14 hari setelah force majour selesai,
6.      Terhadap satu pelaksanaan penagihandiajukan satu surat gugatan.

            3. Peninjauan kembali.

            Pengadilan Pajak merupakan peradilan tingkat pertama maupun tingkat terakhir didalam Peradilan Pajak. Pengadilan pajak tidak dapat melakukan kasasi ke Mahkamah agung, tetapi dapat melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah agung. Setiap pemohon peninjauan kembali memiliki kesempatan sekali dalam melakukan peninjauan kembali. Proses peninjauan kembali oleh Mahkamah agung dapat dilakukan jika pemohon memohon peninjaun kembali dengan alasan sebagai berikut :
1.      Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu,
2.      Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda,
3.      Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali mengabulkan sebagian atau seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar,
4.      Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya,
5.      Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
            Dan pemohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak diketahui alasan untuk melakukan peninjauan kembali.



Dari berbagai sumber :

Aribowo, Irvin. 2017. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tangerang
            Selatan : Politeknik Keuangan Negara STAN.
Handayanto. 2012. Ketentuan Umum Perpajakan. Tangerang Selatan : Sekolah
            Tinggi Akuntansi Negara.
Modul Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Modul KUP oleh Agus Sumarsono
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8/PMK.03/2013 Tentang
            Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan
            Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
            Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
PMK Nomor 17/PMK.03/2013
Suharsono, Agus. Modul Ketentuan Umum Perpajakan. Jakarta : Pusat Pendidikan
            dan Pelatihan Pajak.
UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
UU Nomor 16 tahun 2008
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan
            Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
            Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
            tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
            Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
            Perpajakan.
Modul Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


Nah, akhirnya sampai di penghujung materi. Bagaimana? asyik juga kan belajar pajak asal paham. semoga blog ini membantu kalian untuk belajar pajak. Sampai bertemu di next blog soon, boleh komentar dengan sopan yak. Terimakasih sudah mengunjungi  ^^



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan dan Persamaan antara Report Text dan Descriptive Text

Masalah? Bismillah, Tenang, jangan panik!

Goresan perjuangan menuju gerbang perkuliahan #2